Poster Fokus Januari 2016
Sayang dilewatkan, poster di Fokus, majalah terbitan PLN edisi Januari 2016…
Sayang dilewatkan, poster di Fokus, majalah terbitan PLN edisi Januari 2016…
Kategori:
Hari Sabtu 3 Oktober 2015 kemarin saya berkesempatan menghadiri undangan syukuran 20 Tahun Membangkitkan Listrik untuk Negeri dari PT Indonesia Power, perusahaan tempat saya berkarya saat ini. Acara ini dimeriahkan oleh sambutan para sesepuh pendiri dan pengurus perusahaan dari era kelahirannya sampai dengan saat ini, seperti Bapak Eddie Widiono, Firdaus Akmal, Abimanyu Suyoso, Tonny Agus Mulyantono, Djoko Hastowo, Supangkat Iwan Santoso, Antonius RT Artono, I Gusti Agung Ngurah Adnyana, Aries Mufti, beberapa di antaranya hadir di acara syukuran ini.
Perusahaan ini bersama induknya, PT PLN (Persero), dan saudaranya, PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB), memiliki sejarah yang sangat panjang, diawali dari sejak jaman sebelum kemerdekaan sampai dengan saat ini. PT Indonesia Power bergerak di bisnis pembangkitan tenaga listrik, termasuk penyediaan jasa yang terkait melalui anak-anak perusahaannya, untuk dikirim ke sistem transmisi dan distribusi, sebelum listrik dikonsumsi oleh masyarakat. Boleh dibilang jika membicarakan penyediaan listrik di Indonesia, PT Indonesia Power dan PT PJB lah sebetulnya yang ada di balik layar yang mendukung PT PLN (Persero) dengan porsi pembangkitan tenaga listrik terbesar di Indonesia. Perusahaan ini boleh dibilang merupakan universitasnya ilmu pembangkitan listrik di Indonesia karena memiliki kompetensi pengelolaan berbagai jenis pembangkitan listrik berbahan bakar fosil maupun yang berasal dari sumber energi terbarukan (renewable resources), seperti PLTU batubara, PLTG, PLTGU minyak/gas, PLTD, PLTDG, PLTA, PLTMH, PLTP (geothermal / panas bumi).
Saya menyempatkan mengambil gambar poster-poster di acara tersebut yang menceritakan sejarah pembangkitan listrik di Indonesia yang terkait dengan perusahaan ini, yang saya tulis ulang berikut:
Museum Listrik Taman Mini, 3 Oktober 2015, foto manajemen dan pegawai IP di tengah acara syukuran.
Kategori:
Beberapa hari yang lalu saya mendapat undangan pembahasan salah satu draft Standar PLN (SPLN) dari PLN Puslitbang. Dalam undangan tsb. disebutkan lokasi tempat pembahasan ada di LTA Cipayung. Beberapa kali saya memang sudah pernah menghadiri acara dari PLN di daerah Puncak, namun belum pernah di LTA Cipayung. Saya coba googling untuk mengetahui lokasi tepatnya. Dari jalan raya menuju Puncak, akses masuknya dari jalan/gang Habib Umar (kanan jalan dari arah bawah). Penunjuk arahnya kecil, jadi harus jeli untuk mencarinya. Setelah tiba lokasi, LTA Cipayung ini ternyata tempat asri yang tersembunyi dari keramaian, tempat yang cocok untuk brainstorming bagi tim kecil kami, betul-betul tempat untuk “escape vacation”. LTA ini sebenarnya adalah laboratorium untuk menguji turbin air bagi PLTM/PLTMH.
Bisnis PLTMH sendiri saat ini adalah bisnis yang cukup menggiurkan bagi investor, listriknya pasti dapat dijual. Namun demikian analisis proyeknya harus hati-hati. Kita harus jeli melihat naik turunnya debit air sepanjang tahun terkait dengan kondisi alam di sumber air (hulu), ketinggian jatuh air (head), kondisi tanah (bergerak, rawan longsor dan banjir atau tidak) dan yang tidak kalah penting adalah perijinan. Saat ini hampir semua daerah aliran sungai yang potensial untuk dibuat PLTM/PLTMH sudah ada pemegang ijin lokasinya walaupun dari Pemda setempat ada jangka waktu masa berlakunya. Pilihan yang masuk akal adalah memasukkan komponen biaya akuisisi ijin lokasi dari pemegang ijin yang ada sebagai bagian dari investasi. Salah satu cara cepat untuk mempelajari bisnis ini, adalah dengan bergabung ke grup diskusi Jejaring Mikrohidro Indonesia.
Kategori:
Pameran kelistrikan dalam rangka memperingati Hari Listrik Nasional ke-69 di Jakarta Convention Center 1-3 Oktober 2014 ini sangat sayang jika dilewatkan. Saya share foto-foto di pameran ini yang berhubungan dengan artikel saya sebelumnya.
Sorry, I’m going to write this article in Bahasa Indonesia, I change my mind once I begin to write the first paragraph.
Artikel saya kali ini, berkaitan dengan beberapa artikel saya yang terdahulu, yang membicarakan apa itu sistem tenaga listrik yang terisolasi dari jala-jala utama, apa problem dan tantangannya, kenapa ide penggunaan sumber energi terbarukan ternyata bukan pil ajaib yang bisa menyelesaikan semua problem sekaligus pada sistem yang terisolasi, sekaligus kaitannya dengan penggunaan bahan bakar gas dalam bentuk CNG yang mulai banyak digunakan di pembangkit listrik. Sebelumnya saya akan sedikit mengulas ulang, topik saya yang lalu yang terkait dengan CNG.
Dalam beberapa bulan ini saya beruntung bisa berkesempatan mengunjungi fasilitas-fasilitas pembangkit listrik tenaga gas milik PLN dan anak-anak usahanya yang dilengkapi dengan CNG Plant. Saya telah mengunjungi fasilitas-fasilitas tersebut yang berada di:
Tiap fasilitas tersebut memiliki keunikan, karena memang problem yang dihadapi di masing-masing lokasi bervariasi. Dari segi disain, CNG Plant di lokasi-lokasi tersebut dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar:
Namun demikian, rumus kapan CNG Plant dibutuhkan di pembangkit listrik tetap sama:
Jika keempat syarat tersebut terpenuhi, maka fasilitas CNG Plant layak dibangun di pembangkit listrik tersebut. Namun untuk syarat nomor 3 menjadi tidak wajib, ketika pembangkit listrik dengan bahan bakar gas berada di sistem yang terisolasi dengan main grid.
Nah, yang terjadi di sistem yang terisolasi, yang disebabkan oleh kondisi geografis berupa pulau kecil yang relatif jauh dari pulau besar tempat jala-jala besar berada, maka strategi penyediaan listrik dengan biaya yang ekonomis dan andal (reliable) menjadi problem yang tidak mudah.
Kenapa harus ada 2 kriteria, berupa:
Hal ini karena, seringkali dua kriteria ini tidak bisa dipenuhi dalam saat yang bersamaan.
Misal, jika kita kita mengejar kriteria andal, maka jalan tercepat dan termudah adalah menyediakan PLTD (diesel engine) berbahan bakar minyak untuk pulau-pulau terpencil itu. Namun strategi ini berakibat kepada tidak ekonomisnya / mahalnya biaya operasi sistem tenaga listrik di pulau tersebut.
Banyak orang berpikir untuk menggunakan sumber-sumber energi terbarukan (renewable energy sources / RES) di pulau-pulau kecil tersebut untuk mengejar kriteria ekonomis. Bukan kah sinar matahari melimpah ruah di Indonesia ? Atau menggunakan tenaga angin yang bertiup di khatulistiwa ? Atau bahkan menggunakan energi pasang surut air laut ? Namun pengalaman menunjukkan, ketika sumber energi terbarukan coba dimanfaatkan, tapi tidak didahului oleh studi kelayakan yang komprehensif dan mendalam, seringkali yang ditemui adalah kegagalan, wasting money.
Sebagai contoh adalah penggunaan solar cell untuk PLTS, yang sering menjadi target proyek percontohan berbagai institusi. Biaya investasi solar cell sendiri memang cenderung turun dari waktu ke waktu jika dikuantifikasi dalam satuan Rupiah atau USD per kW peak, berkat penemuan teknologi-teknologi terbaru pada solar cell film. Namun penggunaan PLTS pada sistem yang terisolasi, membutuhkan investasi ekstra berupa fasilitas penyimpanan energi berupa baterai, sebagai penjaga stabilitas sistem. Apa yang terjadi jika kita nekat menggunakan PLTS pada sistem terisolasi tanpa baterai? Sistem akan menjadi sangat tidak stabil, mengingat sistem yang isolated biasanya tidak terlalu besar, hanya di orde beberapa ratus kW atau beberapa MW saja. Bandingkan dengan sistem tenaga listrik Jawa yang beban puncaknya sudah melewati 20000 MW tahun lalu. Gangguan sedikit saja pada solar cell akan mengganggu kestabilan isolated system. Ingat, prinsip RES sebaiknya tidak lebih dari 20% dari total suplai untuk sistem ketenagalistrikan, dengan pertimbangan stabilitas sistem.
Baterai yang digunakan pun tidak bisa sembarang baterai, harus punya kemampuan cyclic, charging-discharging yang memadai. Dan sayangnya, tidak seperti trend harga solar cell yang bisa menurun, harga baterai cenderung stabil dari waktu ke waktu, sehingga PLTS dengan baterai mungkin hanya “murah” dalam biaya operasi, namun mungkin sebetulnya tidak terlalu ekonomis jika biaya investasi secara keseluruhan dalam life cycle cost-nya diperhitungkan.
Paper yang cukup komprehensif menjelaskan narasi di atas dan tersedia online, bisa dibaca pada tulisan Pak Ehnberg.
Nah, lalu bagaimana jalan keluarnya?
Menurut pengamatan saya, yang bisa kita lakukan adalah melakukan optimasi dari alternatif-alternatif penyediaan listrik di sistem terisolasi. Kita jangan sampai terjebak pada “fanatisme” solusi-solusi yang cenderung sektoral, tidak mau melihat solusi lain. Secara empiris, penyediaan tenaga listrik bagi konsumen di Pulau Bawean yang dilayani oleh PLN Distribusi Jawa Timur bekerja sama dengan PT PJB dapat menjadi bahan studi yang menarik. Usaha pengurangan biaya operasi dilakukan dengan substitusi bahan bakar minyak, yang semula dipakai oleh PLTD, mulai digantikan oleh bahan bakar gas dari CNG, yang dipakai oleh PLTMG. Substitusi ini tidak mudah, mengingat CNG harus dibawa melalui laut dari Gresik ke Pulau Bawean yang berjarak lebih dari 60 mil laut. Meski demikian, solusi ini secara empiris telah terbukti bisa direalisasikan dan dinikmati hasilnya.
Berikut foto-foto dari perjalanan saya ke Pulau Bawean:
Kategori:
Gilang Ramadhan pada Kenapa Jam Kerja Harus Diatur?… | |
Margo pada Lanjutan Contoh Penyelesaian A… | |
G. Wesley pada Contoh Penyelesaian Aliran Day… | |
doann pada PowerWorld: Cara Mudah untuk M… | |
Adi pada Load Frequency Control | |
Rahadian Akbar pada PowerWorld: Cara Mudah untuk M… | |
ary pada Contoh Penyelesaian Aliran Day… | |
konveksi surabaya pada Contoh Penyelesaian Aliran Day… | |
bobby pada Independent Power Producers di… | |
Alghauts pada WA Artikel: Perbandingan Tarif… |
all about electricity (indonesia)
Written
on 2 Oktober 2014