all about electricity (indonesia)

Surya vs Bayu

Yang jelas kita bukan sedang ngomongin om Surya Saputra atau kak Ario Bayu ya. Terus juga bukan lagi ngebahas Bebek goreng mana yang paling enak.

Sesuai AD ART blog ini, saya akan bahas dunia kelistrikan. Mohon maaf 🙂

Ya betul, Surya disini adalah PLTS, listrik tenaga matahari. Bayu adalah PLTB, atau listrik tenaga angin. Dua-duanya sumber energi baru dan terbarukan (EBT). Dua-duanya juga lagi jadi trending topic bagi pemerhati isu energi, terutama EBT. Apalagi para pemimpin dunia juga lagi mengkampanyekan target Net Zero Emission dalam beberapa dekade mendatang. Target Indonesia di 2060.

PLTS dan PLTB sudah ada di Indonesia. Meski belum sebanyak di negara maju. Tapi yang kita bahas bukan PLTS/PLTB yang di Indonesia.

Idealnya, kita akan menyerap listrik EBT sebanyak mungkin. Sebanyak-banyaknya sehingga menggantikan listrik berbahan bakar fosil. Fosil apaan sih? Itu tuh… seperti minyak dan gas bumi (solar diesel, bensin dll). Juga batubara (masih sodara-an sama arang untuk bakar sate).

Asap hasil pembakaran bahan bakar fosil menghasilkan CO2 (gas rumah kaca). Asap atau emisi ini sebetulnya bukan dari pembangkit listrik saja. Sumber emisi lain yang sangat besar adalah emisi kendaraan bermotor bakar.

Kalau kendaraan bermotor listrik bagaimana? Ya tidak ada emisinya. Sektor transportasi bisa betul-betul bersih jika sumber energi kendaraan listriknya dari listrik EBT.

Tujuannya apa? Tentu saja agar emisi gas rumah kaca dapat ditekan. Kalau tidak ditekan bagaimana? Ya.. Bumi akan semakin hangat. Efek dari semakin banyak CO2. Yang “menahan” panas radiasi matahari dalam atmosfir bumi. Akibatnya, es di kutub mencair. Tinggi permukaan air laut mengancam menenggelamkan kota-kota di pesisir. Iklim jadi tidak menentu. Memicu gagal panen. Krisis pangan adalah efek berikutnya yang menghantui.

Yang terjadi di negara maju, musuh EBT ternyata bukan energi fosil saja. Sesama EBT ternyata juga bisa salip menyalip. Publikasi AEMO untuk sistem Australia Barat buktinya.

Kurva Beban Harian Sistem Australia Barat 8 November 2021

Dari grafik ini terlihat sekali. Warna kuning menggusur warna hijau. Kurva ini dinamakan “the duck curve”, kurva bebek. Mirip gambar bebek, begitulah kira-kira imajinasi insinyur listrik.

Untuk mengakomodir masuknya listrik dari PLTS, PLTB harus “mengalah”. Di siang hari, sangat wajar jika produksi listrik fosil dikurangi. Tapi jika ternyata harus mengurangi produksi EBT listrik dari angin, tentu ini mengejutkan.

Namun demikian, selalu ada solusi untuk problem teknik. Australia sudah menyiapkan gudang energi, dan sedang terus memperbesarnya. Tempat menyimpan energi listrik dari EBT. Berupa power bank raksasa. Battery Energy Storage System (BESS) namanya.

Yang tidak dapat diserap karena bersaing dengan saudaranya sendiri, sesama EBT. Jadi memang benar, Surya vs Bayu, telah terjadi di negeri seberang. Dan akan didamaikan dengan BESS.

M. Imaduddin, “Market Survey on the Addition of Cilegon Fuel Gas Compression Capacity as the Sourcing Best Practice of EPC Small Scale Project,” 2019 International Conference on Technologies and Policies in Electric Power & Energy, Yogyakarta, Indonesia, 2019, pp. 1-5, doi: 10.1109/IEEECONF48524.2019.9102545.

Abstract:

Small EPC project will not be economical if the owner use the same approach in developing project design or planning documents as if it is large scale EPC project. The development of procurement planning documents such as feasibility study, term of references and bidding documents in large scale EPC project usually will be supported by at least one international consultancy firm. This is to ensure the quality of the procurement planning documents. It can cost the owner up to several hundred thousand U.S. dollars per document, but it only have small amount of percentage compared to the total project cost. In small EPC project, this cost will have much bigger percentage.

The method proposed to develop procurement planning documents for small EPC project is by doing market survey or market sounding mechanism. This method is similar to pre-qualification of bidders but it is emphasized more on technical and financial matters than administrative qualification. In this study, we hypothesize that the project chosen as the best solution will be found among several project alternatives, and we use financial indicator analysis method to test this hypothesis.

A case study on how this method implemented can be seen at fuel gas compression capacity addition project in Cilegon combined cycle gas turbine, Indonesia. This method is successfully helping the plant management to develop procurement planning documents independently. This method is also useful to build an analysis of which project financing is more preferable. Market survey on the project provides data which helps owner to determine whether using direct investment or build-own-operate (BOO) or build-operate-transfer (BOT) to finance the project. In the case of the Cilegon compressor project, it was found that BOO project financing was the best project solution that provided the highest IRR of 11.9%.

keywords: {combined cycle power stations;economic indicators;financial management;fuel gasification;gas turbine power stations;investment;power generation economics;power generation planning;procurement;project management;tendering;BOO project financing;market survey;Cilegon fuel gas compression capacity;EPC small scale project;project design;procurement planning documents;bidding documents;total project cost;financial indicator analysis method;Cilegon combined cycle gas turbine;Cilegon compressor project;fuel gas compression capacity;market sounding mechanism;plant management;direct investment;build-own-operate;build-operate-transfer;Procurement;Planning;Natural gas;Investment;Turbines;Sourcing Methodology;Small EPC Project;Economic Feasibility Study;Project Financing},

URL: https://ieeexplore.ieee.org/stamp/stamp.jsp?tp=&arnumber=9102545&isnumber=9102473

Disclaimer: Bagi teman2 yang sedang menulis skripsi, makalah ilmiah, paper dan sejenisnya, informasi yang saya sampaikan ini valid, meskipun biasanya reviewer atau dosen pembimbing akan meminta referensi yang lebih bisa dipercaya ketimbang sekedar blog pribadi. Namun demikian, saya berkeyakinan, studi empiris ini dapat memberi gambaran aktual mengenai bagaimana realisasi produksi listrik dari sebuah PLTS.

imadudd1n.wordpress.com
PLTS Roof-top 5,4 kWp di Serang, Banten

Pembangkit listrik tenaga surya atau photo-voltaic system yang akan saya cerita kan ini adalah PLTS on-grid atau grid connected PV system. Artinya, PLTS ini menghasilkan listrik dan terhubung ke jaringan, dalam hal ini jaringan tegangan rendah.

Lokasi PLTS ini ada di Serang, Banten. Kapasitasnya 5400 Watt-peak. Terpasang di atap bangunan atau roof-top mounted. PLTS ini beroperasi mulai pertengahan tahun 2019. Karena sudah beroperasi lebih dari 1 tahun, saya hendak bagi kan pengalaman kami terkait produksi listriknya.

Menurut saya hal ini penting diketahui bagi siapa pun yang berminat memasang PLTS. Saat ini banyak sekali informasi terkait PLTS, hanya saja saya pribadi melihat, informasi-informasi ini terkadang terkesan bias. Bias ini biasanya dipengaruhi oleh misi dari institusi atau lembaga afiliasi pemberi informasi.

Sebagai contoh, penjual PLTS, terutama yang reputasinya belum dikenal, cenderung akan memberikan informasi yang optimistik mengenai potensi dan hal-hal manis lainnya. Sedangkan konsumen, harus berhati-hati, jangan sampai over-estimate dan menaruh harapan yang berlebihan terhadap apa yang dapat dihasilkan PLTS. Jika PLTS dibeli dengan uang pribadi, tentu kita akan kecewa ketika produksi PLTS ini tidak sesuai harapan. Ketidaksesuaian ini sering berasal dari ketidaktahuan kita mengenai PLTS ini. Namun demikian, saat ini sudah banyak software, baik dari pabrikan atau non-pabrikan, yang membantu kita merancang PLTS. Sehingga kemungkinan kinerja PLTS kita meleset jauh dari estimasi dapat dihindari.

Memilih penjual PLTS yang terpercaya juga sangat penting. Jika PLTS yang akan anda beli tidak terlalu besar, supplier PLTS yang bonafid akan membantu kita mendisain sistem PLTS dengan benar. Untuk proyek besar, sebaiknya anda disain sendiri atau gunakan konsultan enjiniring untuk membantu anda.

Semakin banyak data yang dimasukkan ke dalam designer software, akan semakin akurat.

Sebagai contoh, saya menggunakan software online,

https://www.sunnydesignweb.com/sdweb/#/Home

dari pabrikan inverter PLTS terkenal, SMA Jerman,

https://www.sma.de/en.html

Dengan memasukkan data lokasi, merek dan jenis PV modul, saya mendapatkan disain ini:

Software ini memperkirakan produksi PLTS 1 tahun sejumlah 5750 kWh. Kapasitas grid tied inverter yang disarankan untuk 20 PV modules @270 Watt-peak adalah 4 kW. Artinya, PLTS ini akan menghasilkan daya maksimal 4000 Watt dalam kondisi terbaiknya, meskipun kapasitas PV modulnya 5400 Watt-peak. Atau rasio antara kapasitas inverter dengan kapasitas PV modules adalah 74.1%.

Kenapa kapasitas inverter lebih kecil daripada kapasitas PV modules?

Tujuannya adalah untuk mengoptimalkan produksi listrik karena besar kemungkinan PV modules selalu akan bekerja di bawah kondisi STP dan menghindari rugi-rugi akibat penggunaan inverter yang terlalu besar. Jadi, ketika sebuah keping panel PV diberi label 270 Watt-peak, maka aktualnya, produksi listriknya pasti akan di bawah 270 Watt. Penyebabnya, kondisi sinar matahari sangat jarang bersinar dalam kondisi irradians 1000 Watt/m2 dan suhu cell 25 C (STP).

Realisasi produksi 1 tahun PLTS 5,4 kWp sebesar 7308 kWh

Pada kenyataannya, PLTS ini menghasilkan energi 7308 kWh dalam setahun atau 27% lebih banyak daripada perkiraan awal. Tentu saja hal ini menggembirakan pemilik aset. Apa penyebab kinerjanya lebih baik dari rencana?

Produksi PLTS Rooftop 5.4 kWp di bulan Agustus 2019

Yang paling signifikan tentu saja pada pemilihan material, berupa modul PV dan inverter yang berkualitas. Instalasi yang benar juga berpengaruh besar. Salah satu kesalahan klasik yang sering dilakukan adalah survey lokasi yang sembarangan. Bayangan atau shading pada PV modules akan mengurangi kinerja PLTS sangat signifikan.

Inverter Sunny Boy dari SMA Germany

Inverter yang tidak andal dan boros energi juga dapat mengurangi kinerja PLTS. Selain merek yang teruji, lokasi pemasangan inverter juga menentukan awet tidaknya inverter.

Profil PLTS Rooftop 5,4 kWp

Selain produksi tahunan, ada hal lain yang lebih menarik. Ternyata produksi PLTS tidak konstan sepanjang tahun. Terlihat produksi pada musim kemarau (April-Oktober), dimana langit cenderung bersih, cenderung lebih baik. Pada musim hujan (Oktober-April), dimana langit sering berawan, produksinya lebih sedikit.

Produksi PLTS Rooftop 5.4 kWp pada 11 Juli 2019
Produksi PLTS Rooftop 5.4 kWp pada 13 Februari 2020

Fenomena ini terlihat jelas dalam dua grafik di atas. Ketika musim kemarau dan langit cerah, PLTS dapat menghasilkan listrik 12 jam atau sehari penuh dan dayanya maksimal 4 kW di tengah hari. Sementara itu, pada musim hujan, produksinya sangat rendah, bahkan dayanya kurang dari 2 kW di sepanjang hari tersebut. Selisih produksi listrik PLTS pada bulan di musim kemarau dengan musim hujan dapat mencapai 50%.

Dari studi empiris di atas kita dapat mengambil kesimpulan, pemasangan PLTS akan lebih menguntungkan di daerah yang jarang berawan, karena produksi akan lebih maksimal di semua bulan di sepanjang tahun. Di Indonesia, yang sangat ideal adalah daerah seperti Nusa Tenggara.

Siapa yang tidak ingin tagihan listrik rumahnya murah? Anda, saya dan semua orang pasti menginginkannya. Pertanyaannya, “Bagaimana Pak caranya?”

Sebelum menjawab hal ini, ada baiknya kita mengetahui beberapa hal pokok. Konsumen listrik rumah tangga, baik yang prabayar maupun pascabayar, membayar listrik berdasarkan jumlah energi (kWh) yang akan / telah dipakai. Energi listrik 1 kWh (kilo Watt-hour) adalah energi listrik yang kita pakai sebesar 1 kilo Watt atau 1000 Watt selama 1 jam.

Contoh peralatan listrik yang bisa dinyalakan dengan 1 kWh adalah 2 buah Air Conditioner (AC) 3/4 PK Low Watt (@ 500 Watt = 0,5 kW) selama 1 jam. Berapa yang harus dibayar? Rp 1467.

Sebelum Pandemi, seorang konsumen mempunyai kebiasaan menyalakan 4 buah AC 3/4 PK Low Watt tadi dari jam 7 malam sampai dengan jam 5 pagi (10 jam). Hal ini karena keluarga konsumen tersebut setiap hari biasa berangkat bekerja, bersekolah atau beraktivitas lainnya di pagi hari dan pulang di petang hari. Biaya listrik yang harus dibayar dalam 1 bulan = 4 x 0,5 kW x Rp 1467 x 10 jam x 30 hari = Rp 880.200.

Ketika terjadi Pandemi dan PSBB, dimana semua orang beraktivitas di rumah (WFH, SFH), kebiasaan konsumen tersebut berubah. AC dinyalakan 24 jam. Berapa yang harus dibayar? 4 x 0,5 kW x Rp 1467 x 24 jam x 30 hari = Rp 2.112.480.

Wow! Tagihan listriknya naik 2 kali lipat lebih!

Walaupun kita tahu, naiknya tagihan tersebut akibat naiknya pemakaian energi listrik, namun kita pasti tetap merasa kaget dengan tagihan tersebut. Terus, apa donk solusinya?

Suara Konsumen Listrik di Masa Pandemi

Solusi yang mungkin terpikir adalah “memproduksi listrik sendiri di rumah” untuk mengurangi tagihan listrik. Caranya bisa dengan memasang pembangkit listrik tenaga surya di atap rumah kita (roof-top solar cell) atau menyalakan genset.

Mari kita beli PLTS / solar roof-top ini dari salah satu market place. Harganya Rp 45 juta. Spesifikasinya tertulis 3,25 kWp. kWp atau kilo Watt peak berarti pada siang hari, daya yang dihasilkan biasanya maksimal 0,8 x 3,25 kW = 2,6 kW atau 2600 Watt. Karena matahari tidak bersinar 24 jam atau anggap saja matahari bersinar penuh setara 4 jam (peak sun hours), maka PLTS kita hanya akan menghasilkan 4 jam x 3,25 kW = 13 kWh. Dalam 1 bulan PLTS kita akan menghasilkan 30 hari x 13 kWh = 390 kWh. Dalam rupiah akan setara Rp 1467 x 390 kWh = Rp 572.130.

Jika kita mempunyai PLTS roof-top tadi, maka kita akan menghemat listrik Rp 572 ribu per bulan (dengan asumsi semua energi listrik yang diproduksi PLTS saat siang hari dikonsumsi di dalam rumah, tidak ada yang diekspor ke jaringan listrik luar).

Sayangnya, untuk menghemat tadi, kita harus mengeluarkan Rp 45 juta di muka. Dengan mengabaikan time value of money, maka uang Rp 45 juta tadi baru akan kembali setelah = Rp 45.000.000 / Rp 572.000 = 78 bulan atau 6 tahun lebih! Itu pun dengan asumsi PLTS kita tidak rusak sebelum waktunya. Dan ketika ada kerusakan peralatan di PLTS, maka kita masih akan mengeluarkan biaya tambahan sehingga balik modal atau pay-back period-nya semakin lama. Peralatan yang berpotensi cepat rusak dan mahal adalah on-grid inverter-nya.

Okay, mari kita lihat alternatif lain. Bagaimana dengan listrik dari genset (generator set)?

Dari salah satu market place kita mendapat sebuah genset 2000 Watt seharga Rp 3,5 juta. Kalau dibandingkan dengan PLTS yang Rp 45 juta tadi, tentu harga genset ini jauh lebih menarik. Sayangnya, genset ini butuh biaya bahan bakar, sementara cahaya matahari PLTS gratis. Genset yang ada di pasaran biasanya membutuhkan setengah liter bahan bakar untuk menghasilkan 1 kWh. Jika harga bensin Premium Rp 6450/liter, maka biaya 1 kWh dari genset akan sebesar 0,5 x Rp 6450 = Rp 3225. Jika dibandingkan dengan harga listrik dari PLN sebesar Rp 1467/kWh maka biaya listrik genset ternyata 2x lipat lebih mahal.

Wah, terus bagaimana donk? Jika memproduksi listrik sendiri tidak feasible, maka apa solusi yang paling masuk akal bagi konsumen pada umumnya?

Cara yang paling masuk akal agar tagihan listrik tidak bengkak adalah merubah perilaku pemakaian energi. Cara ini sedemikian rupa sehingga jumlah konsumsi energi relatif tidak banyak berubah meskipun kita menjadi lebih lama berada di rumah dibandingkan sebelum Pandemi.

imadudd1n.wordpress.com

Dari contoh kasus di atas, alih-alih menggunakan 4 buah AC di kamar masing-masing selama 24 jam sehari, sebuah keluarga lebih baik memusatkan aktivitasnya yang membutuhkan AC di siang hari di 1 ruangan saja. Di malam hari, ketika akan tidur, AC di kamar masing-masing baru dinyalakan.

Jika hal ini yang dilakukan, maka tagihan listrik bulanan hanya akan naik sebesar = 0,5 kW x Rp 1467 x (24-10) jam x 30 hari = Rp 308.070 atau hanya akan naik sepertiga kali dari tagihan bulan sebelumnya, tidak dua kali lipat lebih.

Kenaikan ini bisa lebih diminimalkan lagi dengan mengurangi jam hidup AC di kamar di malam hari dan menunda menyalakan AC di pagi hari ketika suhu udara belum terlalu panas.

Jika timer AC di tiap kamar tersebut di set untuk otomatis mati di pagi hari, misal di jam 3 pagi atau 2 jam lebih awal dan AC di 1 ruangan baru dinyalakan jam 9 pagi, maka tagihan listrik cuma akan naik = (10 jam – ((10 jam – 8 jam) x 4)) x Rp 1467 x 30 hari = Rp 88.020 saja.

Cara lain untuk mengurangi daya konsumsi listrik (Watt) untuk kasus di atas adalah dengan mengganti jenis AC dari Low Watt ke type Inverter. Namun cara ini membutuhkan biaya pembelian (investasi) tambahan. Pada prinsipnya, penggunaan peralatan listrik yang lebih hemat energi, seperti TV dan lampu LED, mesin cuci dan AC inverter, pompa VSD akan menguntungkan dalam jangka panjang, tetapi membutuhkan biaya pembelian (investasi) di awal yang sering kali lebih mahal dibandingkan peralatan listrik konvensional.

Hal lain yang bisa dilakukan untuk contoh kasus di atas adalah memastikan ruangan atau kamar betul-betul tertutup rapat ketika menggunakan AC. Dengan cara ini meskipun AC sudah mati pada jam 3 pagi, kamar akan masih tetap terasa dingin sampai pagi hari. Penggunaan door closer di kamar anda dapat membantu memastikan hal ini.

Dalam kehidupan normal yang baru, jika perubahan perilaku pemakaian atau konsumsi listrik yang sudah anda pelajari tadi dilanjutkan, maka sangat mungkin tagihan listrik anda ke depan akan lebih murah lagi dibandingkan tagihan sebelum masa Pandemi.

Riwayat Tagihan Listrik Seorang Konsumen yang Berhasil Menerapkan Prinsip Konservasi Energi selama Masa Pandemi di tahun 2020. Untuk mengetahui riwayat tagihan listrik anda, download apps-nya di PlayStore.

Saya beruntung minggu lalu saya dapat mengikuti orasi Don Tapscott pengarang buku Blockchain Revolution.

20171101_121838

Bagi anda yang sudah mulai banyak mendengar istilah “disruptive era”, “internet of things”, “machine learning”, “industry 4.0” atau revolusi industri ke-4, atau meminjam penjelasan Bang Jamil Azzaini berikut,

Apa itu disruptive era? Disruptive era adalah masa dimana penuh gangguan dengan banyaknya perubahan. Bisnis penerbitan terganggu dengan adanya desktop publishing. Industri kamera film terganggu dengan adanya inovasi kamera digital. Bisnis tradisional terganggu dengan pemanfaatan kemudahan online.

Ada yang “terganggu” kemudian musnah. Ada pula yang terganggu namun ia berbenah dan pada akhirnya ia tetap eksis. Di dalam era yang disruptif ini, sebagai manusia kita pun perlu berbenah agar tidak “musnah” atau kalah dalam persaingan yang berakibat kepada kehidupan yang semakin susah.

20171101_121806

Maka orasi Mr. Tapscott ini memberi saya insight baru yang belum terpikirkan sebelumnya. Meskipun pekerjaan-pekerjaan saya selama ini telah memberi saya cukup banyak bekal di luar keteknikan (engineering), namun pidato dari Pak Don ini memberi pencerahan yang berbeda.

Konsep-konsep perdagangan tradisional yang kita kenal selama ini seperti model bisnis supply chain management dimana ada produsen (pabrikan), agen, distributor, konsumen, kemudian ada konsep bank sentral, uang, perjanjian jual beli, kontrak sepertinya sebentar lagi akan punah seperti punahnya dinosaurus yang (konon) karena dihujani meteor. Blockchain adalah new supply chain menurut Alex Tapscott, anak Mr. Don sekaligus co-author buku Blockchain Revolution.

Tidak terlepas dari revolusi blockchain ini adalah revolusi (yang akan sebentar lagi terjadi) di bidang ketenagalistrikan. Secara alamiah, sekarang semakin banyak orang, pihak, perusahaan atau siapa pun yang bisa menjadi produsen listrik. Dulu kita cuma mengenal konsep IPP (Independent Power Producer) sebagai pihak “lain” selain PLN yang bisa memproduksi listrik. Sekarang dengan berkembangnya teknologi energi baru dan terbarukan, teknologi informasi, “smart grid”, “smart city” dengan electric vehicle (kendaraan listrik)-nya, digabungkan dengan hilangnya “middle man”  plus mekanisme “smart contract”, berkat teknologi blockchain atau “distributed ledger technology”, meminjam istilah dari Deloitte ini, maka bisnis ketenagalistrikan akan menjadi sangat berbeda dari yang ada sekarang. Distributed Energy Sources dalam bentuk microgrid yang menggunakan teknologi blockchain diperkirakan akan semakin menjadi hal yang lazim. Ekonomi berbasis kolaborasi juga akan terjadi dalam industri ketenagalistrikan.

20171101_122555

Jika dahulu orang berpikir konsep ekonomi liberal dalam pasar ketenagalistrikan adalah mekanisme pasar untuk menekan harga listrik yang dibayar konsumen, maka revolusi blockchain ini akan menghasilkan efek yang lebih dahsyat lagi. Tidak cuma harga listrik akan turun, tapi partisipasi konsumen sekaligus sebagai produsen listrik microgrid akan semakin terasa dan hilangnya overhead cost akibat hilangnya middleman yang berada di antara produsen dan konsumen. Contoh energy trading berbasis P2P, peer to peer, dengan teknologi blockchain ini bisa kita lihat sedang dikembangkan di Philippines dan Australia.

Dalam sesi terakhir EPRI International Technology Innovation Summit di tempat yang sama, saya mendengarkan kesimpulan dari para Chief Technology Officer bahwa tantangan terbesar teknologi ini adalah bukan pada pembangunan infrastrukturnya, tetapi lebih ada kesiapan para pelaku pasar, pemerintah dan institusi terkait untuk meningkatkan “openness”-nya masing-masing.

Apakah kita telah mempunyai cukup “trust” untuk bersinergi ? Sebagaimana video diatas dimana ratusan burung-burung jalak yang bisa terbang membentuk formasi yang sangat harmonis, tidak bertabrakan satu dengan yang lain meski jumlahnya sangat banyak. Sungguh Tuhan telah memberikan banyak contoh di alam ini bagi manusia yang mau berpikir (QS 2:164).

Lebih jauh tentang revolusi blockchain…

BLOCKCHAIN REVOLUTION:
Understanding the 2nd Generation of The Internet and the New Economy

Nulis Apaan Aja Deh

all about electricity (indonesia)